Suatu hari, di tahun 1979, Umiati, sahabatku datang menghampiriku untuk berangkat bersama ke sekolah. Dia membawa sebuah buku yang sampulnya sudah lusuh. Dia memberikannya kepadaku. Katanya, “Bacalah, ini novel bagus sekali”. Aku menerima buku itu dan kubaca judulnya: “Cintaku di Kampus Biru”, karya Ashadi Siregar. Aku langsung mengatakan pada Umi buku itu aku pinjam beberapa hari. Aku sangat ingin membacanya.
Ketika malam setelah belajar, aku membaca novel yang dipinjamkan Umi. Cintaku di Kampus Biru, heemmm…judulnya sangat menarik, menurutku. Kampus Biru itu yang mana ya?, pikirku. Aku membaca beberapa halaman. Aku tertawa karena banyak percakapan lucu di dalamnya, juga banyak istilah-istilah ilmiah di dalamnya. Aku mengingat betapa lucunya dialog ketika Anton datang ke rumah Siska dan merayunya. Menurutku, rayuannya sangat berkelas, bukan rayuan gombal. Aku sangat asyik membaca novel itu dari awal sampai akhir.
Novel itu bercerita tentang kehidupan mahasiswa UGM di Yogyakarta. Ada kisah cinta daan ada pula intrik aktivis organisasi mahasiswa. Ada semacam persaingan untuk merebut kekuasaan sebagai ketua senat mahasiswa, ada pula persaingan merebut hati gadis idola. Yang unik adalah kisah ketika Anton mendekati dosennya agar dia dapat lulus ujian. Ada satu dosen yang “killer”, istilah dalam novel tersebut, yang belum meluluskan Anton walapun sudah berkali-kali menempuh ujian.
Novel itu membuatku berimajinasi seandainya aku dapat berkuliah di Jogja. Aku ingin menahu seperti apa kampus UGM itu, seperti apa kampung Sagan itu, seperti apa kampung Bintaran itu, seperti apa Malioboro itu, dan banyak lagi tempat-tempat yang diceritakan di dalam novel itu menarik perhatianku. Novel itu seakan menarikku lebih dalam untuk berimajinasi aku yang sedang berkuliah, aku yang sedang berorganisasi, dan aku yang sedang belajar di perpustakaan. Dari novel itu aku menjadi menahu istilah-istilah orang berkuliah seperti tentamen, skripsi, dekan, rektor, yudicium, dan banyak lagi.
Gara-gara membaca novel karya Ashadi Siregar itulah, aku menjadi sangat ingin berkuliah di Jogja, bukan di Jakarta. Bagiku, Jogja yang digambarkan di dalam novel itu benar-benar kota pelajar yang dapat menggembleng seorang anak muda menjadi orang yang berilmu sekaligus dewasa dalam berpikir. Jogja yang digambarkan itu adalah kota yang sederhana tetapi penuh dengan aktivitas intelektual yang tidak pernah padam. Namun, keinginanku masih belum kuutarakan kepada bapak. Aku masih menunggu saat yang tepat.(bersambung)
16 responses to ““Cintaku di Kampus Biru” yang Menginspirasi”
Masya Allah, sangat menginspirasi ceritanya ibu
Terima kasih, Pak Ustad.
Kalau saya menonton filmnya, Bunda. Tahun berapa saat itu, saya lupa.
Ditunggu kelanjutnya,
Iya. Saya akhirnya menonton juga filmnya ketika ditayangkan di TVRI ketika sudah di Jogja.
Novel itu memang ngetrend saat itu ya. Ada juga karya Marga T
Iya, betul Bu. Ike Supomo, Marga T, Teguh Esha, Edy D. Iskandar dan banyak lagi.
Inspiratif sekali.
Terima kasih, Prof.Imam.
Mantap cerita novel yang membuat orang berimajibadi. Terima kasih Bu. Salam sehat dari Bukittinggi
Iya, BU Syofni. Terima kasih.
Cintaku juga dikampus biru bunda. IKIP Karangmalang, pada jamannya.
Hihii…iya, betul.
Datang ke kotaku..
Jogyakarta tamah air beta 🌹
Sangat mengispirasi, Bunda Ruki. Salam hormat dan cinta dari Kota Lumpia.
Terima kasih Bu Narti manis.
Cintaku di Kampus Biru menginspirasi, Izzuki sabar menunggu sambungan cerita bunda Ruki, barokallah