rukiyatilink.com

Media berekspresi dan berbagi

MERANTAU KE JOGJA


Setelah menamatkan SMEA di Tanjung Pinang, aku berangkat bersama bapak menuju Jogja.  Iswagiati, temanku dititipkan bapaknya kepada kami. Nanti, di lapangan Kemayoran, kakaknya sudah menjemput, demikian kata bapak Wati. Kami menaik pesawat Simpati Airlines pada tanggal 26 Mei 1980. Baru pertama kali itu aku pergi jauh dengan menaik pesawat. Pesawat itu kecil saja, hanya memuat sekitar 50 orang. Tidak ada pesawat besar saat itu yang mengangkut kami ke Jakarta.

Dua jam kemudian pesawat mendarat di Lapangan Kemayoran. Benar, Bang Gito, kakak Wati sudah menjemput. Kami kemudian menuju ke stasiun Gambir untuk menaik kereta api menuju Jogja. Baru pertama kali aku menaik kereta api. Ooo, begini rasanya naik kereta api. Banyak orang tidak dapat tempat duduk sehingga duduk di lantai. Oleh karena kereta itu adalah kelas ekonomi, maka di setiap stasiun kereta berhenti.

Banyak orang berjualan di dalam kereta. Ada yang berjualan permen, jeruk, pecel, sampai cologne. Penjualnya berteriak, “kolornyet…kolornyet…”. Kukira kolor monyet koq dijual. Ternyata kata bang Gito itu adalah tisu berisi cairan minyak wangi untuk membersihkan muka agar segar. Aku tertawa geli karena kurang pengalaman. Maklum, orang kampung baru saja sampai ke Jawa. 

Aku tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta ketika subuh baru saja datang. Azan sayup-sayup kudengar di kejauhan. Aku, bapak, Wati dan Bang Gito segera keluar menuju selatan ke Jalan Pasar Kembang. Bang Gito memanggil andong. Kami menaikinya menuju Perum PJKA di Pengok, tempat kost Bang Gito. Bang Gito sudah selesai berkuliah dan sudah bekerja magang di sebuah kantor Akuntan di Kotabaru.

Aku merasakan sensasi pertama kali menaik andong yang ditarik oleh seekor kuda yang lumayan besar.  Pak kusir memecut kuda dengan pelan. Kami melewati Kreteg Kewek terus melaju ke Kotabaru, simpang jalan Dr. Wahidin terus lurus.  Kami melewati Balai Yasa, tempat bengkel kereta api. Di pinggir jalan depan Balai Yasa itu dipenuhi pohon-pohon kenari yang tinggi dan kokoh. Aku senang melihatnya. Tibalah kami di rumah kost Bang Gito di Pengok.

Ketika pagi hari aku dan Wati berjalan-jalan di sekitar perumahan itu, aku mendengar lagu Ebiet yang terbaru, / Izinkanlah kukecup keningmu/ Bukan hanya ada di dalam angan/ Esok pagi kau buka jendela/ dan kaudapati seikat kembang merah/ …

Bagiku, lagu Ebiet itu adalah lagu Selamat Datang  di Jogja saat itu. Lagu itu sedang hit di Jogja dan se antero nusantara waktu itu. Sampai sekarang bila mendengar lagu tersebut, aku sangat terharu mengenang awal perjalanan hidupku merantau ke Jogja.

Setiap hari lagu itu diputar di radio Retjo Buntung dan Radio Swasta lainnya dalam acara Pilihan Pendengar. Aku kemudian membeli kaset lagu Ebiet terebut dan menyetel di tape recorder milik Wati di tempat kost kami bertiga, Pengok Blok E 52. Aku, Wati, dan Junaida patungan menyewa kamar kost yang agak besar untuk kami bertiga seharga Rp 75.000 setahun. Jadi, masing-masing kami iuran Rp 25.000 untuk kamar tersebut. Itu kost yang murah meriah.

Kamar kost kami sebenarnya adalah ruang depan dari perumahan PJK di blok tersebut. Rumah disekat menjadi dua bagian. Yang depan dikontrakkan menjadi kamar kost , yang belakang ditempati ibu kost sekeluarga. Rumah itu berdinding tembok separoh dan separoh lagi adalah dinding gedeg (anyaman bambu). Rumah tipe seperti itu adalah kost-kostan pada umumnya di Pengok pada tahun delapan puluhan. Teman-temanku di samping kiri kanan rumah juga menempati kamar depan yang sama sepertiku.

Bapak kostku adalah Bapak Panggung. Beliau sudah pensiun dari PJKA tetapi tetap tinggal di rumah tersebut seolah menjadi rumah milik pribadi. Bu Panggung, seorang perempuan Jawa yang cantik. Beliau berdagang sayur-mayur dan bumbu-bumbu di Pasar Talok, dekat rel kereta api. Anak-anaknya ada lima orang, tidak ada yang berkuliah. Beliau dan anak-anaknya sangat ramah dan  baik.

Kami memasak sendiri dengan iuran bulanan. Jika sore sudah tidak sempat memasak, aku membeli nasi di warung seharga Rp 100,- dengan lauk telur dan sayur. Kalau hanya dengan tempe an sayur lebih murah lagi hanya Rp 50,-. Aku kemana-mana berjalan kaki atau menaik becak. Pernah kami kesasar sampai ke Pingit diantar tukang becak, padahal kost kami di Pengok. Dari kesasar itu, aku dapat melihat Tugu Jogja bolak-balik sebelum sampai ke Pengok lagi.

Jika masih pagi, aku dan Wati berjalan kaki ke mana-mana. Juga ketika kami sibuk mengikuti bimbingan tes di UII bertempat di masjid Syuhada. Aku dan Wati  memang mendaftar ke FE UII waktu itu. Ketika kami mengikuti bimbingan tes yang diselenggarakan kakak-kakak aktivis HMI di  UII, kami menahu ada  Masjid Syuhada, masjid perjuangan sewaktu pertempuran di Jogjakarta semasa Revolusi Fisik setelah kemerdekaan Indonesia.  dan ruang kuliah di bagian bawah masjid. Senang rasanya belajar di sana. Jika waktu Zuhur tiba, kami menaik ke lantai atas untuk sholat berjamaah. Rasanya adem dan tenteram berada di masjid tersebut.

Di Jogja aku berteman dengan para mahasiswa dari berbagai daerah. Mereka sering datang ke rumah. Terlebih teman-teman dari Kepulauan Riau banyak sekali yang saling berkunjung. Kami saling bercerita satu sama lain tentang  perguruan tinggi yang ingin dituju. Ada beberapa dari mereka yang mengikuti test gelombang 1 tidak diterima sehingga mencoba lagi di gelombang 2, dan seterusnya. Semuanya saling mendukung dan memotivasi agar teman-teman kami yang datang dari berbagai daerah itu tetap semangat untuk berkuliah di Jogja.

Aku lulus tes dan diterima sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen, FE UII. Jurusan itu berstatus Disamakan. Artinya, para mahasiswa tidak perlu mengikuti Ujian Negara. Aku mengucap syukur dan segera menyiapkan persyaratan untuk daftar ulang sebagai mahasiswa baru.

Aku banyak mendapat pertolongan dari kakak-kakak angkatan yang lebih dulu belajar di Jogja. Mereka itu sangat membantu kami, anak-anak kampung yang baru datang ke Jogja.  Mereka tak segan mengantarkan kami mendaftar di berbagai perguruan tinggi di Jogja karena mereka sudah menahu alamatnya.

Setelah mendaftar ulang, aku dan teman-teman mahasiswa dari berbagai fakultas yang ada di UII diterima secara resmi sebagai mahasiswa baru oleh Rektor UII. Tempatnya tidak di kampus, tetapi di Kridosono juga. Saat itu yang menjadi rector adalah Bapak Gusti Haji Prabuningrat, yang adalah adik Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Gusti Prabu, kami memanggilnya.

Beliau adalah Rektor UII yang paling ramah dan sangat dekat dengan mahasiswa. Beliau memberikan pengarahan dan motivasi agar kami giat belajar. Juga beliau mengatakan bahwa ada salah kaprah masyarakat dalam mengucapkan UII, sering dibaca YUII. Kata beliau, baca saja UII, bukan YUII. Itu tidak konsisten katanya. Kalau mau konsisten maka dibaca YU AI AI. Kami tertawa mendengarnya.

Hari-hari selanjutnya, beliau tidak segan untuk menyalami kami para mahasiswanya terlebih dahulu. Orangnya sangat humble Beliau senang menyapa dan bertanya kabar.  Juga kesulitan-kesulitan dalam belajar. Kami sangat senang jika bertemu Gusti Prabu ketika akan menunggu giliran masuk kelas.  Aku belajar banyak dari tata karma beliau. Aku merasakan betapa aura ningrat terpancar dalam diri beliau. Menurutku, Gusti Prabu adalah sosok darah biru yang sesungguhnya.  

 Dari pertolongan kakak-kakak angkatan itu, aku dan Wati serta Ida berketetapan hati,  bahwa teman di perantauan adalah saudara kami. Kami harus saling membantu satu sama lain. Hidup memang harus saling tolong-menolong, terlebih di perantauan. Sudah biasa, kami mengalami keterlambatan pengiriman wesel. Sering kami saling meminjamkan uang bila kiriman belum datang. Kami juga sering memasak bersama untuk menghemat pengeluaran.

Makanan yang kami makan juga sangat sederhana. Sehari-hari kami makan nasi, tempe, sayur. Paling banter, kami tambahkan telur dadar. Pernah ada teman sekitar kostku yang hanya makan nasi berlauk kerupuk. Aku membatin, aku masih beruntung karena di kostku ada nasi, sayur, dan lauk telur goreng. Aku semakin menahu betapa sulit kehidupan mahasiswa dari kelompok ekonomi pas-pasan seperti aku. Kalau saja bapak tidak menjual sebagian kebunnya, aku tidak mungkin dapat berangkat ke Jogja. Aku sangat menyadari orangtuaku bukanlah orang kaya. Tekad berkuliah ke Jogja harus diawali dengan hidup prihatin.

Bantuan kakak-kakak yang telah terlebih dahulu berkuliah di Jogja sangat berarti bagiku dan anak-anak baru yang datang dari kampung. Mungkin kalau anak sekarang memberi istilah “sangat culun” kepada kami. Aku berterima kasih atass bantuan kakak-kakak itu semua. Tanda terima kasihku itu kuwujudkan dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan. Akupun tak segan membantu adik-adik baru yang datang ke Jogja untuk berkuliah pada tahun-tahun selanjutnya. Hidup memang harus tolong menolong. Walaupun kakak-kakak itu sudah jauh di mata, aku berdoa, semoga kebaikan mereka dicatat sebagai amal soleh oleh Allah SWT. Amin.


19 responses to “MERANTAU KE JOGJA”

  1. Pengalaman yang berkesan ya Bu Ruki yang tidak dapat dilupakan, di awal cerita Bu Ruki membuat anak tertawa geli,’kolornyet’ kok kolor monyet dijual, menang monyet ada kolor.
    Cerita yang menginspirasi kita. Terima kasih Bu Ruki sudah berbagi cerita, terima kasih Prof. Imam Robandi yang telah sabar membimbing kami untuk membangun rumah baru Web mada depan. Salam dari Kota Bukittinggi

  2. Masya Allah. Bunda Ruki ternyata kost di Pengok. Kenangan indah tak terlupa bun. Saya dulu kost di Mrican, kemudian pindah ke Karangmalang.

  3. Seorang gadis cantik dari kampung, yang culun itu ternyata sekarang menjadi seorang ibu dosen yang sangat cerdas dan baik hati. Sungguh saya sangat terharu membaca cerita ini. Ibu doktor yang baik hati, cerita ini sangat menyentuh hati. Perjalanan seorang gadis kamoung yang tekun akhirnya menjadi guru besar.

    Fotonya cantik bu, kok masih ada ya.

  4. Awalnya merantau, kini menetap nggih bund. MasyaAllah perjalanan dan perjuangan yang tidak mudah, namun menjadi catatan hidup yang indah. Matur nuwun bunda

    • Sebenarnya setiap kota mempunyai kenangan untuk setiap individu yang mengalaminya. BTW, semoga suatu saat pengandaian bu Nurul menjadi kenyataan. Amin. Terima kasih telah mampir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!
👋 Hi, how can I help?